Minggu, 26 April 2020

Banjaran Kumbakarna

Lakon banjaran Kumbakarna ini dimulai dari kesedihan yang mendalam yang dirasakan oleh Begawan Wisrawa dan istrinya, Dewi Sukesi, karena anak mereka yang kedua juga lahir dalam bentuk raksasa. Anak ini diberi nama Kumbakarna. Sedangkan anak sulung mereka yang bernama Dasamuka juga berujud raksasa.

Demikian pula anak ketiga, perempuan, ujudnya juga raseksi. Anak ini dinamakan Sarpakenaka. Barulah anak yang keempat, yang bungsu berujud ksatria tampan, dinamani Gunawan Wibisana.

Menjelang dewasa, keempat bersaudara itu pergi bertapa di hutan dengan tujuan yang berbeda-beda. Seperti saudaranya yang lain, Kumbakarna bertapa sampai bertahun-tahun. Akhirnya, datanglah Batara Narada menemuinya. Kepada dewa itu Kumbakarna mula-mula menyatakan keinginannya untuk hidup seribu tahun agar dapat lama menikmati nikmatnya makanan di dunia ini. Narada bersedia memenuhi permintaan itu, tetapi mengingatkan bahwa makin panjang umur seseorang, akan makin banyak pula kesempatan berbuat dosa. Lagi pula orang berumur panjang bukan berarti tidak bertambah tua. Dan makin tua seseorang, tubuhnya akan makin lemah dan akan berkurang kemampuan lidahnya untuk menikmati rasa makanan.



Mendengar hal itu Kumbakarna sadar, lalu mengubah permintaannya. Ia ingin agar dapat tidur lama sepuas-puasnya dan hanya bangun manakala ia ia menghendakinya. Batara Narada mengabulkan permintaan itu.

Sewaktu Prabu Dasamuka menculik Dewi Sinta, Kumbakarna dan Gunawan Wibisana berusaha menyadarkan abangnya bahwa perbuatan itu salah. Mereka menyarankan agar Dasamuka segera membebaskan Dewi Sinta serta mengembalikan putri itu pada suaminya, Ramawijaya. Mendengar saran ini Dasamuka marah.

Kumbakarna dan Gunawan Wibisana dimaki-maki. Karena tidak tahan akan makian abangnya, Kumbakarna pulang ke rumahnya di Kasatrian Pangleburgangsa, lalu tidur. Ia tidak bangun sampai pecah perang antara balatentara Alengka dengan prajurit kera yang membantu Ramawijaya.

Sesudah banyak prajurit dan senapati Alengka yang gugur, Prabu Dasamuka menyuruh putranya, Indrajit, untuk membangunkan Kumbakarna. Ternyata tidak mudah membangunkan Kumbakarna. Baru setelah Indrajit mencabut bulu yang tumbuh di jempol kakinya (wulucumbu, bhs. Jawa), Kumbakarna terbangun. Indrajit mengatakan, Kumbakarna diminta menghadap Prabu Dasamuka.

Sebelum datang ke istana, Kumbakarna lebih dahulu melahap seribu buah nasi tumpeng dan delapan ingkung daging gajah.

Setibanya di istana, Dasamuka ternyata minta agar Kumbakarna maju ke gelanggang perang menghadapi serbuan prajurit kera. Kumbakarna menolak, karena perang itu terjadi hanya karena sifat angkara murka Dasamuka.

Prabu Dasamuka yang marah, segera mencaci adiknya dan menyebutnya hanya hidup sebagai tukang makan, tak pernah bekerja dan tidak peduli pada nasib negara.

Mendengar hal itu, dengan kesaktiannya Kumbakarna memuntahkan segala apa yang pernah dimakannya dalam keadaan utuh dan segar. Setelah itu ia berkata, akan berangkat ke medan perang, tetapi bukan karena alasan membela ulah Dasamuka yang angkara murka. Saya pergi berperang untuk tanah airku, Alengka, menghadapi musuh yang datang menyerbu, katanya.

Dengan mengenakan pakaian serba putih Kumbakarna berperang dengan sungguh-sungguh. Cukup banyak korban di pihak prajurit kera yang ditimbulkan karena amukan Kumbakarna. Karena Kumbakarna sulit ditandingi, terpaksa Ramawijaya dan Laksmana sendiri yang turun ke gelanggang. Mereka berdua menghujani raksasa itu dengan anak panah. Mula-mula kedua tangan Kumbakarna buntung terkena panah pusaka Rama dan Laksmana. Namun, tanpa peduli rasa sakit yang diderita Kumbakarna masih tetap meminta banyak korban. Kedua kakinya menyepak dan menendang lalu menginjak-injak banyak prajurit kera. Rama dan Laksmana meneruskan serangan anak panah mereka. Maka, buntunglah kedua kaki Kumbakarna. Namun, raksasa ini tidak juga menyerah. Dengan mengguling-gulingkan tubuhnya yang kini tanpa tangan dan kaki, ia masih berhasil membunuh banyak prajurit kera. Maka, terpaksa Rama dan Laksmana mengarahkan anak panah mereka pada leher Kumbakarna. Sesaat kemudian, gugurlah Kumbakarna sebagai pahlawan pembela tanah kelahirannya .

Istri Kumbakarna seorang bidadari bernama Dewi Aswani. Dasamukalah yang memberikan bidadari itu pada Kumbakarna untuk diperistri. Dari perkawinan ini Kumbakarna mendapat dua orang putra, yakni Aswani Kumba dan Kumbakumba. Seperti ayah mereka, kedua anaknya ini juga gugur sewaktu menghadapi prajurit kera anak buah Ramawijaya.
Kematian Kumbakarna secara aniaya ini disebabkan karena kutukan Jambumangli pada ayahnya, Begawan Wisrawa. Empat puluh tahun sebelumnya, Begawan Wisrawa membunuh Jambumangli secara aniaya. Kedua tangan dan kakinya dipotong. Waktu itu Jambumangli mengutuk, bahwa salah seorang anak Wisrawa kelak juga akan mati secara aniaya seperti dirinya.

Setelah kematiannya, arwah Kumbakarna ternyata tidak dapat menemukan pintu sorga. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia dapat menemui adiknya yang telah menjadi pertapa.

Kepada Gunawan Wibisana, Kumbakarna minta ditunjukkan jalan ke arah kesempuraan. Wibisana mengajurkan agar arwah Kumbakarna bersemayam di paha kiri Bima.

Pada hari terakhir Baratayuda, sewaktu Bima berperang tanding dengan Duryudana, paha Bima dihantam gada Suyudana. Pada saat itulah arwah Kumbakarna melesat lepas menuju kesempuraan.


Untuk membaca kisah lengkap Ramayana silakan Klik Disini.