Sabtu, 18 April 2020

Cerita Hantu - Tuyul Gentayangan



 













SEBENARNYA desaku termasuk desa pinggiran. Tetapi, cara pemikiran warganya sudah tergolong maju dan boleh dikatakan modern. Para remajanya banyak yang menuntut ilmu ke perguruan tinggi. Malahan ada yang berhasil meraih gelar S2. Maka dari itu tak mengherankan kalau masyarakat di desaku hanya tertawa kalau ada orang yang bercerita tentang takhayul. Terbukti pada suatu ketika ada salah seorang warga yang bercerita tentang tuyul, hal tersebut dianggap cerita yang sudah tidak jamannya lagi dan tidak realistis.

Beberapa hari yang lalu memang ada warga yang bernama Sutrisno yang berprofesi sebagai juragan rental mobil yang berkeluh-kesah. Katanya, uangnya sering hilang di dalam rumah. Dia dan keluarganya menduga kuat bahwa yang mencuri uang tersebut tiada lain adalah tuyul.

Tetapi, apa yang dikeluh-kesahkan Sutrisno itu hanya dianggap isapan jempol belaka. Hanya sebuah isu yang kurang bisa dipercaya begitu saja. Mereka rata-rata menganggap bahwa di jaman yang sudah serba maju dan modern sekarang ini, cerita tentang tuyul itu hanya dianggap nonsense belaka. Orang-orang yang mendengarkan cerita Sutrisno itu hanya mengira Sutrisno dan keluarganya atau karyawannya kurang teliti dalam menghitung uangnya, atau barangkali lupa meletakannya.

Menurut Sutrisno, uang yang dihitungnya semalam seratus ribu rupiah, keesokan harinya ketika dihitung kembali kurang sepuluh atau dua puluh ribu rupiah. Ada pula yang mengira kalau uang Sutrisno itu secara diam-diam diambil oleh anaknya sendiri atau karyawannya untuk main-main atau lain sebagainya. Mana cerita itu yang benar, tidak ada yang tahu. Tetapi, pada kenyataannya, uang yang ditaruh dalam kotak dan dimasukkan almarinya, kenyataannya sering hilang dengan sendirinya. Anehnya, yang hilang tidak semuanya, tetapi hanya selembar atau dua lembar saja. Ketika menyimpan sejuta, hilang lima puluh ribu. Kemarin malam uang seratus ribu, baru semalam, sudah lenyap yang sepuluh ribu. Entah ke mana raibnya.

Lama-kelamaan kejadian itu membuat Sutrisno menjadi gusar. Dia yakin kalau yang mencuri uangnya itu adalah tuyul. Beberapa hari kemudian, dia pergi ke rumah Mbah Sastro yang tahu tentang hal-ihwal makhluk halus.

“Kebetulan sekali nanti malam adalah hari malam Selasa Kliwon, yang tepat sekali untuk memancing tuyul,” kata Sutrisno menirukan pesan Mbah Sastro, seperti yang diceritakan kepadaku.

“Lalu yang dimaksudkan bagaimana, Mbah ?” tanya Sutrisno ingin tahu.

“Begini saja, nanti malam lampu di rumahmu tidak usah dihidupkan. Sebagai gantinya di setiap ruangan diberikan lampu lilin. Bungkusan ini bawalah, dan bungkusan ini namanya rajah jaring kala. Rajah ini bisa digunakan untuk menjaring tuyul yang kluyuran di rumahmu. Taruhlah bungkusan ini di dalam almari tempat kamu menyimpan uang. Kalau tengah malam terdengar suara berisik di dalam almari tersebut, cepat-cepatlah buka almari itu. Kalau kamu memergoki anak kecil yang wajahnya menakutkan, jangan sekali-sekali takut. Dialah yang dinamakan tuyul. Setelah itu terserah kamu, akan kamu apakan tuyul itu,” kata Mbah Sastro secara jelas.

Tiba di rumahnya, apa yang dinstruksikan oleh Mbah Sastro selalu diingat-ingat. Mulai maghrib, Sutrisno sudah duduk-duduk sendirian di beranda rumahnya. Dia memilih tempat yang agak tersembunyi. Tidak lupa dia menyalakan lampu lilin di setiap ruangan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Sastro. Dia menunggu dengan sabar datangnya malam. Sekitar jam setengah dua belas malam, suasana semakin sunyi. Dia merasakan bahwa selama menunggu kedatangan sang tuyul sangat lama sekali. Dia mengira kalau Mbah Sastro hanya main-main saja tentang tuyul dan cara penangkapannya. Berkali-kali jam dinding yang menempel di dinding ditengoknya. Seolah pergerakan jarum jam dinding itu lambat sekali.

Tepat jam dua belas malam, jantungnya terasa terguncang hebat ketika telinganya menangkap suara gemerisik di dalam almari tempatnya menyimpan uang. Dia lalu berjalan berjingkat-jingkat mendekati almari itu dengan jantung yang semakin keras berdetak. Ketika tangannya hendak membuka almari itu tiba-tiba diurungkan. Dan, tiba-tiba saja nyalinya menjadi ciut. Kini dia dihantui ketakutan. Entah mengapa, dia tiba-tiba merasa sangat ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang ceking. Malam itu dia pun mengurungkan niatnya untuk menangkap tuyul.

Beberapa hari kemudian, ketika aku menghadiri acara kelahiran putra Pak Radi, ganti Pak Sadino yang bercerita tentang seringnya dia kehilangan uangnya. Dan, dia juga mempunyai prasangka bahwa yang mencuri uangnya adalah tuyul. Dia menceritakan semua yang dialaminya itu kepada semua yang hadir di rumah Pak Radi seperti yang dialami Sutrisno. Mulai saat itu masyarakat desa yang sudah merasa intelek, mulai sedikit percaya bahwa memang ada tuyul yang bergentayangan mencuri uang.

“Bapak rupa-rupanya membenarkan adanya tuyul yang bergentayangan di desa kita ini, apa alasannya ?” tanya Pak Mahroni kepada Pak Sadino.

“Benar, aku yakin kalau desa kita sudah kemasukan tuyul. Aku mengatakan demikian sebab uangku dua juta rupiah yang sedianya akan kubelikan tv, setelah kuhitung kembali ternyata kurang seratus ribu rupiah,” kata Pak Sadino dengan sungguh-sungguh.

“Tetapi, bisa juga Pak Sadino lupa atau salah menghitung sebelumnya sehingga uang yang kurang seratus ribu rupiah itu tidak diketahui,” sergah Fajar yang duduk di belakang Pak Sadino.

“Ah.. Lupa bagaimana? Dan, aku yakin kalau aku tidak salah menghitung. Malahan aku sudah menghitungnya sampai dua kali. Setelah itu baru uang itu kumasukkan almari,” jawab Pak Sadino meyakinkan kepada Fajar, anak muda yang masih kuliah semester akhir di sebuah perguruan tinggi.

“Kalau begitu yang mengambil uangnya Pak Sadino jelas-jelas tuyul,” sahut Pak Tarmin meyakinkan pula. Aku melirik kepada Sutrisno yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah dia yakin kalau desanya sudah kemasukan tuyul. Entah itu tuyul yang keloyongan di desanya, atau memang ada yang memelihara untuk pesugihan. Tidak ketinggalan orang yang bernama Pak Taat yang sedari tadi ingin nimbrung masalah tuyul menambahkan cerita kalau semalam rumahnya juga kedatangan tuyul.

“Waktu itu kira-kira jam sembilan malam. Isteriku lagi nonton tv sendirian. Sedang aku bermalas-malasan sendirian di tempat tidurku. Lalu, entah mengapa tiba-tiba saja aku malam itu merasa hendak kencing di kamar mandi yang letaknya di belakang rumah. Langkahku berhenti mendadak, ketika beberapa langkah hendak masuk ke kamar mandi, aku memergoki sosok yang aneh. Sosok yang tiada lain seorang anak kecil yang dengan tenang masuk ke dalam rumahku. Aku membuntuti langkahnya dengan berjalan berjingkat-jingkat. Anak yang wajahnya menakutkan dan kira-kira masih berusia dua tahunan itu berhenti di depan almariku. Dia hanya memakai cawat dan plontosan. Anehnya, kedatanganku menghampiri dia tidak membuatnya takut. Aku menginginkan anak itu dan mencoba untuk menggendongnya. Aku terkejut sekali ketika dia hendak kugendong tiba-tiba tubuhnya mengecil secara mendadak. Tubuhnya terus mengecil dan mengecil dan akhirnya menghilang dari pandangan mataku, entah ke mana perginya”. Semua yang mendengarkan cerita Pak Taat hanya diam seolah tersihir dengan cerita Pak Taat.

Mulai saat itu cerita tentang tuyul sedikit demi sedikit mulai diyakini kebenarannya. Bahkan, beberapa hari berselang, aku mengalami sendiri kejadian yang aneh. Waktu itu aku sedang mengontrol air yang mengairi sawahku. Sudah sering air yang mengairi sawahku atau milik tetangga yang lain terganggu. Kadang-kadang terhalang oleh sampah yang ikut larut terbawa air. Pada malam yang semakin sunyi itu tiba-tiba aku mendengar suara tangis seorang bayi. Suara itu datang dari atas tebing. Suara itu membuat aku penasaran. Dengan mempercepat langkahku, kudekati suara itu.

Aku seperti tersambar geledek ketika melihat seorang anak kecil gundul yang hanya mengenakan cawat. Dia masih saja menangis sambil duduk di sebuah rerumputan.Tangannya memegang-memegang untaian tali yang terbuat dari rerumputan. Melihat hal itu dengan spontan kulepaskan rerumputan tali yang membelenggu kakinya.

“Namamu siapa le..?” aku bertanya seraya melepaskan ikatan tali rumput yang membelenggu kakinya. Anak itu tidak memjawab. Dia hanya menoleh ke kiri dan ke kanan seperti kebingungan.

“Ayahmu siapa namanya?” Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Rumahmu di mana?” Dia masih tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. Berdasarkan perilakunya itu aku lalu bisa memberikan kesimpulan bahwa anak itu adalah tuyul. Tetapi, untuk meyakinkan apakah anak itu tuyul atau bukan, aku bertanya lagi.

“Kamu tuyul ya, yang sering gentayangan di desa ini?” Aku mulai emosi seraya memandang tajam ke arahnya. Sekarang dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kamu punya mulut, mestinya kalau ditanya memberi jawaban, tidak hanya menggeleng-gelengkan kepala atau mengangguk-angguk saja”. Dia diam saja, hanya kelopak matanya yang besar kelihatan genangan air matanya.

“Terus kamu ini bagaimana kok sampai terjerat simpul tali-tali rerumputan itu ?” Dia masih saja diam.

“Apa kamu ikut majikanmu mancing ? Kemudian kamu melihat seekor yuyu lalu kamu kejar-kejar. Yuyu yang kamu kejar lari kencang, kemudian kamu terjerat rerumputan itu. Betul begitu ?” Sekarang dia kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Berdasarkan pengakuannya melalui gerakan-gerakan kepalanya, aku yakin kalau orang yang mempunyai tuyul itu mempunyai hobi memancing.

“O, jadi majikanmu itu senang mancing ya ?” kini dia seperti anak linglung.

“Lalu sekarang kenapa kamu gentayangan di desa ini ?” Dengan pertanyaanku kali ini secara tak terduga tiba-tiba wajahnya menjadi bengis. Kedua matanya melotot dan mulutnya menyeringai. Dia kelihatan marah sekali, seolah hendak menantangku.

Melihat hal itu seketika kemarahanku muncul dengan tiba-tiba. Wajah tuyul itu kutempeleng sekeras-kerasnya sehingga dia jatuh terjerembab ke belakang. Kemudian anak itu segera bangun kembali terus lari tunggang-langgang di kegelapan malam yang hanya diterangi bulan purnama. Tetapi, yang jelas, bekas tamparanku yang hebat tadi menyebabkan hidung si tuyul itu berdarah. Aku baru tahu ini selama hidupku bahwa tuyul ternyata bisa lari dengan kecepatan tinggi dan menghilang begitu saja.

Keesokan harinya sehabis memeriksa sawah, orang-orang desa disibukkan dengan berita atas kematian Pak Mamat. Kematian Pak Mamat itu dikatakan mendadak. Hanya karena hidungnya secara tiba-tiba mengeluarkan darah segar terus-menerus hingga berujung dengan kematiannya. Hanya setengah jam lamanya Pak Mamat mengalami pendarahan di hidungnya tersebut. Sepeninggal Pak Mamat tidak ada lagi warga desa yang mengeluh kehilangan uang seperti hari-hari sebelumnya.
(Koessoenarjono)R.47


Sumber